Siflutrin

Siflutrin adalah salah satu anggota dari keluarga piretroid sintetis tipe II yang dikembangkan untuk meniru sifat piretrin alami yang ditemukan dalam bunga krisan. Dikembangkan pertama kali pada tahun 1987 oleh Amerika Serikat untuk mengatasi hama pertanian yang menyerang tanaman kapas, tanaman hias, sereal, jagung, dan kentang. Selain aplikasi pada pertanian, Siflutrin juga digunakan untuk mengendalikan hama urban, seperti semut, kecoa, rayap, kutu, nyamuk, dan lalat. Senyawa ini memiliki beberapa nama dagang seperti Baythroid, Baygon aerosol, dan Bayofly. Dapat ditemukan di pasaran dalam berbagai formulasi seperti wettable powder, emulsifiable concentrates, oil in water emulsions, concentratess, dan dust (Assar et al.,2023 ; Kaneko, 2010).
Pada tahun 2018, dilaporkan bahwa ada sekitar 150 produk pesisida yang mengandung bahan aktif siflutrin telah tersebar di pasaran, diantaranya adalah Temprid, Demand CS, Bifen I/T, Tempo SC Ultra, dan Suspend SC. Keberadaan siflutrin dalam berbagai formulasi dan produk mencerminkan fleksibilitasnya dalam berbagai aplikasi dan pengendalian hama.
EPA telah menklasifikasikan siflutrin sebagai salah satu zat aktif yang tidak bersifat karsinogenik bagi manusia. WHO juga telah mengevaluasi banyak penelitian dan menemukan bahwa pemaparan jangka panjang siflutrin tidak akan meningkatkan risiko penyakit kanker. Selain itu, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa senyawa ini menganggu sistem endokrin pada organisme non target. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya penggunaan siflutrin pada beberapa jenis pestisida (NPIC,2018)..
Siflutrin terdiri dari beberapa jenis isomer. Dua isomer utama yang umumnya digunakan pada produk pestisida adalah alpha-Siflutrin dan beta-Siflutrin. Keduanya memiliki struktur kimia yang mirip, tetapi dengan susunan atom yang berbeda. Beta-Siflutrin sering kali digunakan bersama dengan alpha-Siflutrin dalam formulasi pestisida untuk memberikan kontrol yang lebih efektif terhadap hama target (Kaneko, 2010).
Siflutrin memiliki dua jalur utama untuk memasuki tubuh hama target, yaitu melalui pencernaan dan kontak lansung dengan kutikula. Setelah berhasil masuk ke dalam tubuh, senyawa ini akan menargetkan sodium channel, yaiu protein transmembran yang berperan sebagai saluran ion natrium. Sodium channel memiliki fungsi krusial dalam mengatur aliran ion natrium ke dalam sel, memainkan peran penting dalam transmisi sinyal saraf dan kontraksi otot (Ravula & Yenugu, 2021).
Cara kerja sodium channel terkait erat dengan perubahan potensial membran sel. Secara umum, sodium channel memiliki tiga konformasi utama, yaitu :
- Resting State (Keadaan Istirahat): Pada keadaan istirahat, sodium channel dalam keadaan tertutup sehingga mencegah aliran natrium ke dalam sel.
- Activation (Aktivasi): Saat sel menerima stimulus atau impuls saraf, sodium channel mengalami aktivasi dan memungkinkan ion natrium masuk ke dalam sel.
- Inactivation (Inaktivasi): Setelah depolarisasi mencapai puncaknya, sodium channel mengalami inaktivasi. Kondisi inaktivasi ini akan membatasi aliran natrium dan mempersiapkan sodium channel untuk keadaan istirahat berikutnya.
Siflutrin yang berhasil memasuki tubuh hama target akan berinteraksi dengan situs reseptor spesifik pada sodium channel. Proses pengikatan ini mengakibatkan pembukaan sodium channel secara berkepanjangan. Konsekuensinya, akan terjadi akumulasi ion natrium di dalam sel saraf. Dampak kumulatif dari pembukaan saluran yang berlangsung terus menerus adalah eksitasi saraf yang berlebihan dan gangguan transmisi sinyal saraf. Fenomena tersebut akan menyebabkan kelumpuhan dan kematian pada hama target (NPIC,2018).
Siflutrin dapat bertahan lama di dalam tanah dan dapat diurai oleh air atau sinar matahari. Penguraian siflutrin terjadi lebih cepat di tanah dengan kandungan organik tinggi dan tanah tanpa oksigen. Waktu paruh siflutrin adalah sekitar 34 hari di dalam tanah tanpa oksigen dan sekitar 56 hari di dalam tanah dengan oksigen. Jika digunakan pada permukaan tanah, waktu paruhnya sekitar 2 sampai 16 hari. Waktu paruh siflutrin di dalam air yang terpapar oleh sinar matahari adalah sekitar 12 hari dan sekitar 193 hari tanpa sinar matahari. Pada tumbuhan, potensi siflutrin untuk menembus jaringan tumbuhan atau berpindah ke dalam tumbuhan sangat rendah dan cenderung menghilang dengan cepat. Penelitian yang dilakukan terhadap terong, tomat, dan okra, menunjukkan bahwa waktu paruh siflutrin pada permukaannya berkisar antara 2 hingga 3 hari. Penelitian lain menemukan waktu paruh pada buah mangga adalah 2,5 hari dan bertahan pada buah hingga 5 hari. Residu Siflutrin juga dapat ditemukan pada makanan yang sudah dijual di pasaran, namun masih berada dalam batas toleransi keamanan yang ditetapkan oleh EPA (NPIC,2018).
Siflutrin memiliki LD50 oral 850–1200 mg/kg pada tikus yang menempatkannya dalam kategori cukup beracun. Dalam dosis besar, siflutrin dapat menimbulkan efek seperti air liur berlebih, inkoordinasi, kejang, dan penurunan tekanan darah (Karanth, 2014). . Namun, penelitian yang dilakukan Hanson et al. 2018 menunjukkan bahwa siflutrin dapat dinetralisir dalam waktu singkat oleh tubuh. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa toksisitasnya pada tikus dapat dinetralisir dan dieksresikan melalui urin dan feses secara cepat. (Assar et al.,2023).
Siflutrin juga diketahui beracun bagi lebah dan invertebrata air tawar seperti ikan dan daphnid. Meskipun memberikan toksisitas akut pada beberapa hewan, European Food Safety Authority pada tahun 2020 menyatakan bahwa penggunaan siflutrin tidak menimbulkan bahaya bagi alga dan beberapa makroorganisme tanah. Selain itu, dalam uji toksisitas lainnya, siflutrin dilaporkan tidak memberikan efek beracun terhadap beberapa jenis hewan, seperti bebek, burung puyuh, ayam, domba, dan kelinci (Assar et al.,2023).
Pada manusia, siflutrin dapat menyebabkann iritasi kulit dan mata yang rigan. Gejala umum keracunan yang muncul adalah paresthesia atau rasa perih, terbakar, dan gatal yang muncul pada kulit, terutama di bagian wajah. Iritasi kulit bisa bertambah parah jika terpapar sinar matahari atau panas. Apabila terhirup, senyawa ini dapat menyebabkan sakit kepala, mual, dan muntah. Beta-Siflutrin ditemukan dua kali lebih beracun jika termakan atau terhirup (FAO, 2016).
Sangat penting melakukan tindakan pencegahan untuk meminimalisir risiko atau potensi efek tosik yang bisa disebabkan oleh siflutrin, diantaranya adalah dengan selalu membaca dengan teliti intruksi pemakaian pada label kemasan, meliputi dosis yang direkomendasikan serta cara penggunaanya. Jauhi area yang sedang dipaparkan hingga pestisida mengering. Selain itu, teknisi yang melakukan pemaparan dan kontak lansung dengan pestisida harus selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) yang lengkap seperti masker, sarung tangan, kacamata khusus, dan baju pelindung tubuh. Sesudah melakukan pemaparan, pastikan untuk mencuci tangan dan bagian tubuh yang terkena pestisida dengan sabun dan air serta mengganti pakaian kerja dan APD yang digunakan dengan baju yang bersih (NPIC,2018).
REFERENSI
Assar, N., Noruzi, M., & Sharifzadeh, M. (2023). Encyclopedia of Toxicology 4th Ed. Netherlands : Elsivier Inc.
Pesticide Residues in Food-2006. Joint Meeting of the FAO Panel of Experts on Pesticide Residues in Food and the Environment (JMPR): Cyflutrinand Beta- Cyfluthrin; Food and Agriculture Organization of the United Nations and World Health Organization Core Assessment Group. Rome, Italy.
Karanth, S. (2014). Encyclopedia of Toxicology. Netherlands : Elsivier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-386454-3.00119-6
Kaneko, Hideo. (2010). Hayes Handbook of Pesticide Toxicology 3rd Edition. Cambridge : Academic press.
NPIC, (2018). CyflutrinGeneral Fact Sheets. http://www.npic.orst.edu/factsheets/Cyflutringen.pdf. Diakses pada tanggal 7 November 2023.
Ravula, A.R & Yenugu, S. (2021). Pyrethroid Based Pesticides – Chemical and Biological Aspects.Critical Reviews in Toxicology.