Peran Atraktan Dalam Perilaku Mencari Inang Pada Nyamuk

Darah yang kaya akan protein sangat penting bagi nyamuk betina untuk menghasilkan telur. Untuk bisa mendapatkan makanan darah dari inang vertebrata, mereka perlu mencari inang yang cocok (Roey, 2009). Perilaku mencari inang pada nyamuk umumnya melibatkan serangkaian langkah yang dimulai ketika nyamuk diaktifkan oleh stimulus inang dan berakhir ketika nyamuk hinggap di area target pada inang (Wooding et al., 2020). Beberapa isyarat yang digunakan selama pencarian inang, mencakup isyarat penciuman (aroma kulit, udara yang dihembuskan, dan urin inang), isyarat visual, isyarat kimia, isyarat panas dan kelembapan yang memengaruhi pemilihan lokasi pendaratan dan gigitan. Pada jarak yang dekat dari inang, suhu dan kelembapan tubuh merupakan elemen yang lebih penting dalam pencarian inang. Sedangkan pada jarak yang lebih jauh, isyarat visual dan penciuman menentukan perilaku mencari inang oleh nyamuk betina. Ketika nyamuk betina mendeteksi bau inang yang dibawa oleh angin, mereka terbang melawan arah angin menuju sumber bau. Peristiwa tersebut dinamakan anemotaksis melawan arah angin yang dimodulasi bau (Roey, 2009).
Dua organ sensorik penting yang berkontribusi terhadap indera penciuman adalah maxillary palp (mengukur tingkat karbon dioksida) dan antena (mendeteksi bau lain yang dikeluarkan oleh inang) (Roey, 2009). Nyamuk memiliki sistem penciuman yang sangat kompleks yang mengandung ratusan protein reseptor dari 3 keluarga berbeda. Keluarga reseptor tersebut adalah olfactory receptors (ORs), ionotropic receptors (Irs), dan gustatory receptors (GRs). Sensila penciuman yang mengekspresikan protein ini terletak pada antenna, maxillary palps, dan proboscis. Sebanyak 131 dan 79 reseptor bau masing-masing telah diidentifikasi pada genom Ae. aegypti dan An. gambiae (Wooding et al., 2020).
Karbon dioksida merupakan salah satu kairomone nyamuk yang berperan sebagai atraktan untuk mencari keberadaan inang yang potensial. Gas tersebut bertanggung jawab untuk memicu respons penerbangan dan mengarahkan nyamuk ke inangnya. Nyamuk merespons perubahan konsentrasi karbon dioksida sehingga untuk mempertahankan nyamuk terbang menuju sumber atraktan diperlukan rangsangan karbon dioksida secara berkala (Wooding et al., 2020; Roey, 2009). Daya tarik terhadap karbon dioksida akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar senyawa tersebut. Namun, nyamuk antropofilik menunjukkan lebih sedikit ketergantungan pada karbon dioksida dalam perilaku mencari inangnya. Hal ini menjelaskan bahwa mereka lebih bergantung pada emisi manusia selain Karbon dioksida. An. gambiae merupakan spesies nyamuk yang sangat antropofilik sehingga karbon dioksida dianggap memiliki kontribusi kecil sebagai atraktan mencari inang, tetapi karbon dioksida bertindak secara sinergis ketika dikombinasikan dengan aroma manusia. Hal tersebut meningkatkan kemungkinan nyamuk An. gambiae betina sampai ke inangnya (Roey, 2009).
Respons perilaku mencari inang pada nyamuk tidak hanya bergantung pada keberadaan karbon dioksida, tetapi aroma manusia dan panas juga diperlukan untuk memperoleh respons makan yang kuat. Bahan volatil dari kulit manusia memainkan peranan penting untuk nyamuk dalam menentukan preferensi inangnya. Bahan volatil pada kulit manusia telah dipelajari secara intensif dan lebih dari 500 senyawa telah diidentifikasi dari sekresi kulit manusia. Variasi daya tarik antara individu yang berbeda telah dikaitkan dengan perbedaan profil flora mikroba yang terkandung pada kulit manusia. Penelitian menarik yang telah dilakukan terhadap sumber bau non-manusia dengan memanfaatkan keju Limburger sebagai atraktan untuk nyamuk. Bau keju Limburger mirip dengan kaki manusia yang berkeringat. Bau unik ini berasal dari bakteri keju coryneform, Staphylococcus epidermidis, yang termasuk dalam genus yang sama dengan bakteri coryneform yang ditemukan di sela-sela jari kaki manusia (Wooding et al., 2020).
Intensitas dan komposisi bau pada kulit manusia berhubungan langsung dengan jenis dan jumlah bakteri tertentu pada kulit. Bakteri pada kulit memetabolisme komponen keringat sehingga menimbulkan bau khas pada keringat. Oleh karena itu, bahan kimia volatil yang dilepaskan oleh mikroorganisme pada kulit menjadi hal penting untuk mempelajari bagaimana nyamuk dapat membedakan inangnya. Bahan volatil ini bervariasi antar individu dan dianggap bisa membantu nyamuk ketika mereka perlu membedakan inang yang berbeda. Spesies nyamuk tertentu lebih menyukai inang manusia yang sudah terinfeksi parasit malaria. Plasmodium falciparum menghasilkan prekursor isoprenoid, yaitu (E)-4-hidroksi-3-metil-but-2-enil pirofosfat selama tahap tertentu siklus hidup parasit. Prekursor tersebut mampu merangsang sel darah merah untuk meningkatkan laju pelepasan karbon dioksida, aldehida, monoterpen yang bila digabungkan akan meningkatkan daya tarik vektor An. gambiae terhadap inangnya (Wooding et al., 2020).
Bahan kimia volatil yang dikeluarkan oleh inang dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Bau ini termasuk bau primer yang tidak berubah ketika pola makan inangnya berubah, bau sekunder yang bergantung pada pola makan inang dan faktor lingkungan, serta bau tersier yang berasal dari penggunaan bahan lain secara eksternal (misalnya produk losion dan perawatan kulit). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa daya tarik relawan yang diteliti terhadap nyamuk bergantung pada penerapan produk perawatan kulit. Ketika relawan berhenti mengaplikasikan produk tertentu, nyamuk An. coluzzii kehilangan kemampuannya dalam membedakan bagian tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa produk perawatan kulit mampu mengurangi atau meningkatkan daya tarik di area kulit yang terpapar (Wooding et al., 2020).
Tantangan besar dalam mengidentifikasi semiokimia nyamuk adalah tingkat plastisitas yang diamati dalam respons perilaku nyamuk. Keadaan fisiologis internal nyamuk memungkinkan dapat mengubah respons perilaku yang ditimbulkan oleh isyarat atau sinyal kimia. Contoh faktor fisiologis internal adalah tingkat kelaparan dan faktor eksternal adalah ketersediaan inang. Jika ada kebutuhan mendesak untuk mencari makan, maka nyamuk akan menetap di inang yang biasanya tidak mereka sukai. Keadaan fisiologis nyamuk akan mempengaruhi responsnya terhadap isyarat perilaku tertentu. Keadaan ini bervariasi tergantung pada umur, ukuran, status nutrisi dan stadium gonotrofik nyamuk. Plastisitas perilaku nyamuk ini dapat menghambat identifikasi semiokimia nyamuk. Oleh karena itu, spesies yang diteliti harus berada dalam kondisi yang tepat untuk merespons. Hal ini menambah tantangan analitis dalam mengidentifikasi dengan benar semiokimia yang memediasi perilaku tertentu (Wooding et al., 2020).
REFERENSI
Roey, K.V. (2009). Yeast-generated Carbon Dioxide as a Mosquito Attractant. Thesis. Wageningen University Laboratory of Entomology.
Wooding, M., Naude, Y., Egmont, R., & Marc, B. (2020). Controlling Mosquitoes with Semiochemicals: A Review. Parasites & Vectors, 13(80): 1-20. https://doi.org/10.1186/s13071-020-3960-3.