Data sedang dimuat..

Penyakit Myiasis Akibat Larva Lalat Tiup

01694746177.jpg

Myiasis berasal dari kata Yunani (Myia = Fly) yang berarti lalat, secara istilah memiliki arti kontaminasi organ atau jaringan hidup atau jaringan mati dari vertebrata (manusia dan hewan) oleh larva lalat (Vahedi & Salehi, 2020). Hewan yang pernah dilaporkan menderita myiasis di Indonesia antara lain sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, anjing, babi dan ayam (Fahma et al., 2020). Salah satu famili lalat yang berhubungan dengan penyakit myiasis ini adalah Calliphoridae, lalat tiup. Lalat tiup merupakan lalat kaliptrat berukuran sedang hingga besar dan berwarna biru metalik atau hijau (Gambar 1). Terdapat empat genera dalam famili Calliphoridae sebagai agen penyakit myiasis, yaitu Calliphora, Lucilia, Chrysomyia dan Cochliomyia (Vahedi & Salehi, 2020). Spesies Lucilia cuprina dilaporkan menyebabkan kerugian sebesar $170 juta per tahun pada peternakan domba di Australia. Selain kerusakan pada hewan ternak, beberapa spesies juga menyebabkan myiasis pada manusia, seperti Cochliomyia hominivorax dan Chrysomya bezziana yang menyebabkan myiasis primer, serta Cochliomyia macellaria yang menyebabkan myiasis sekunder. Selain itu, lalat ini dapat bertindak sebagai vektor dari berbagai patogen yang menyebabkan penyakit terhadap hewan dan manusia (Caleffe et al., 2019). Lalat tiup menggunakan bahan organik yang membusuk untuk mendapatkan nutrisi dan habitat dari larvanya sehingga interaksinya dapat menularkan bakteri pembawa penyakit terhadap manusia (Tomberlin et al., 2017).

Lalat tiup memiliki siklus hidup secara holometabola, dimulai dari telur, larva, pupa, hingga lalat dewasa. Larva dari famili Calliphoridae berbentuk vermiform (bagian tubuh lunak dan berbentuk tabung atau silinder) dan bersifat nekrofag (pemakan bangkai) (Caleffe et al., 2019). Pada kasus myiasis, larva lalat dapat masuk ke area luka yang meradang dan berbau atau ke rongga alami tubuh seperti mulut, lubang hidung, mata, dan saluran genitourinari. Luka dapat memancing lalat untuk hinggap dan bertelur pada area luka tersebut, kemudian berkembang menjadi larva (Fahma et al., 2020). Lalat betina cenderung memilih luka yang masih segar. Lalat Chrysomya bezziana dapat bertelur hingga 245 telur yang diletakkan pada tepi luka yang terbuka maupun tubuh hewan yang lembab. Dalam waktu 12–24 jam telur menetas dan larva akan memakan dan menghancurkan jaringan hidup dari ternak yang terinfeksi. Setelah 12-18 jam larva berkembang menjadi larva tahap kedua yang akan menerobos ke jaringan yang lebih dalam, menggali, dan mengoyak jaringan otot. Larva yang memakan jaringan hidup pada luka tersebut menyebabkan ukuran luka menjadi semakin besar dan dalam. Larva tahap pertama sampai dengan ketiga membutuhkan waktu 6–7 hari. Setelah menjadi larva tahap ketiga, larva akan jatuh ke tanah dan menggali tanah untuk menjadi pupa hingga menjadi imago setelah tujuh hari (Fahma et al., 2020).

Berdasarkan hubungan inang dan parasit, myiasis dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu (Vahedi & Salehi, 2020):

  1. Obligatory myiasis: Larva lalat hanya dapat berkembang di jaringan hidup organisme inang tertentu. Larva tetap berada dalam tubuh inang hingga mereka menyelesaikan perkembanganya sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.
  2. Facultative myiasis: Larva lalat dapat berkembang dalam berbagai bahan organik, termasuk daging yang membusuk, bangkai, tinja, luka, dan jaringan hidup jika kesempatan muncul. Jika larva menginfeksi jaringan hidup, mereka dapat menyebabkan masalah kesehatan dan ketidaknyamanan, tetapi mereka juga dapat memakan jaringan mati tanpa merugikan inang.
  3. Accidental myiasis: Larva lalat secara tidak sengaja menginfeksi jaringan hidup. Larva tersebut biasanya mati atau dikeluarkan dari inang sebelum mencapai kematangan.

Gejala klinis yang terlihat pada hewan ternak penderita myasis, yaitu berkurangnya nafsu makan, gelisah, demam dan anemia. Infestasi larva lalat ke dalam tubuh hewan ternak dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan, seperti kerusakan kulit yang serius, penurunan berat badan, terhambatnya laju pertumbuhan, penurunan produksi susu dan daging, serta abortus (Fahma et al., 2020; Vahedi & Salehi, 2020).

 

REFERENSI

Caleffe, R.R.T., de Oliveira, S.R., Schoffen, R.P., Junior, V.A.O., & Conte, H. (2019). Biological control of Diptera Calliphoridae: A review. Journal of the Entomological Research Society, 21(2): 145-155.

Fahma, N.N., Suhiryanto., Indarjulianto, S., Yanuartono, Alfarias, N., Hary, P., & Slamet, R. (2020). Diagnosis and Treatment of Myiasis in Goat. Journal of Applied Veterinary Science and Technology, 1: 29-33.

Tomberlin, J.K., Crippen, T.L., Aaron, M.T., Muhammad, F.B.C., Baneshwar, S., Jonathan, A.C., & Richard, P.M. (2017). A Review of Bacterial Interactions with Blow Flies (Diptera: Calliphoridae) of Medical, Veterinary, and Forensic Importance. Annals of the Entomological Society of America, 110(1): 19-36. Doi: 10.1093/aesa/saw086.

Vahedi, N.N., & Salehi, A. (2020). Myiasis in Humans and Animals. Animal Husbandry, Dairy and Veterinary Science, 4: 1-3. Doi: 10.15761/AHDVS.1000178.

Kenapa harus kami? Karena kami di dukung oleh para tenaga ahli yang menguasai permasalahan hama di perkotaan (Urban Pest) dan pertanian yang banyak memiliki pengalaman penelitian skala nasional dan internasional dan juga banyak pengalaman praktis dan banyak memberikan berbagai pelatihan, seminar dan konsultansi.

Tanya sekarang +081313538831