Lalat Tsetse Penyebab Trypanosomiasis

Trypanosomiasis adalah penyakit parasit yang menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Pada hewan ternak penyakit ini disebut nagana dan pada manusia disebut penyakit tidur (sleeping sickness). Lalat tsetse adalah vektor biologis trypanosomiasis pada hewan dan manusia. Mereka dapat ditemukan hanya di Afrika dimana sekitar 10 juta km2 daratannya dipenuhi oleh lalat ini. Di Ethiopia, wilayah yang dipenuhi lalat tsetse dilaporkan seluas 240.000 km2 (sekitar 21,7% wilayah) yang terletak di bagian Selatan, Barat Daya, Barat, dan Barat Laut di negara tersebut. Trypanosomiasis Afrika mengakibatkan dampak langsung dan tidak langsung terhadap pembangunan ekonomi. Dampak langsungnya adalah adanya angka kematian yang tinggi terhadap hewan ternak jika tidak diobati. Sedangkan, dampak tidak langsungnya adalah penurunan tingkat produktivitas dari hewan ternak seperti produksi susu, daging, pupuk kandang, dan tenaganya. Dampak tidak langsung lainnya terhadap pembangunan ekonomi negara adalah kebutuhan biaya obat dan pengendalian lalat tsetse tersebut (Enaro & Uro, 2020).
Lalat tsetse ini masuk dalam genus Glossina dan famili Glossinidae. Lalat tsetse memiliki tubuh yang sempit, berwarna kuning hingga coklat tua dan panjang sekitar 6 - 13,5 mm, dan memiliki probosis yang panjang. Bagian toraks berwarna hijau kusam dengan bintik atau garis yang tidak mencolok. Bagian abdomen berwarna coklat dengan enam ruas yang terlihat dari bagian punggung. Lalat tsetse dapat melipat sayap sepenuhnya ketika mereka beristirahat sehingga satu sayap bertumpu tepat di atas sayap lainnya (Enaro & Uro, 2020).
Siklus Reproduksi
Siklus hidup lalat tsetse sangat tidak biasa karena mereka tidak melakukan peletakkan telur. Serangga betina yang diinseminasi akan mengembangkan telur dan larva muda di dalam rahimnya dan dilanjutkan peletakkan larva tahap ke-3 pada tanah lembab atau pasir di tempat yang teduh, biasanya di bawah semak-semak tumbang, batang kayu, batu besar, dan akar penopang. Larva tersebut dengan cepat bersembunyi di bawah permukaan tanah dan mulai menjadi pupa dalam waktu 60-90 menit. Lalat dewasa muncul 20-45 hari kemudian tergantung pada suhu. Setiap betina hanya menghasilkan satu keturunan dalam satu waktu dan dapat menghasilkan hingga 12 keturunan dengan interval sekitar 9-10 hari (Enaro & Uro, 2020).
Perilaku Makan
Lalat tsetse betina dan jantan merupakan serangga penghisap darah vertebrata. Mereka memompa air liur ke dalam darah melalui hipofaring (sebuah tabung panjang pada probosis). Air liurnya mengandung antikoagulan yang dapat menjaga cairan darah sehingga lalat dapat terus menghisap. Setelah proses penghisapan darah selesai, biasanya akan menimbulkan genangan darah di lokasi penusukan. Lalat tsetse aktif mencari makan di siang hari dan diketahui jarak terbang mereka sekitar 1 km/hari (Enaro & Uro, 2020).
Transmisi Penyakit
Lalat tsetse merupakan vektor penting dari T. vivax, T. brucei dan T. congolencei. Trypanosoma ini mengalami perkembangan dan perbanyakan di dalam lalat hingga trypanosomes metasiklik yang infektif dihasilkan. Perkembangan T. vivax terbatas pada probosis. Siklus perkembangan yang lengkap membutuhkan waktu 12-13 hari pada suhu 22°C dan 5 hari pada suhu 29°C. Perkembangan T. congolencei dimulai di bagian tengah usus dan selesai di hipofaring (probosis). Seluruh siklus perkembangan membutuhkan waktu 19-53 hari. Perkembangan T. brucei dimulai di bagian tengah usus, melewati esofagus dan faring hingga ke bagian mulut, memasuki hipofaring di ujung anteriornya yang terbuka, dan akhirnya melewati saluran ludah hingga ke kelenjar ludah dimana tahap akhir perkembangannya terjadi. Seluruh siklus perkembangan membutuhkan waktu 17-45 hari dan bahkan lebih lama (Enaro & Uro, 2020).
Metode Pengendalian
Berbagai macam metode pegendalian lalat tsetse telah dilakukan, seperti perangkap yang diresapi insektisida, Sequential Aerial Technique (SAT), dan Sterile Insect Techniques (SIT). Perangkap yang digunakan untuk menarik lalat tsetse biasanya memiliki warna-warna tertentu terutama biru adalah yang paling sering digunakan. Layar biru pada perangkap diselingi dengan layar hitam dapat menarik lalat dan membuat lalat menetap. Lalat yang terperangkap bisa saja mati karena terkena insektisida dari perangkap (Enaro & Uro, 2020).
Lalat tsetse sangat rentan terhadap insektisida sehingga pengendalian lalat tingkat tinggi dapat dicapai dengan Sequential Aerial Technique (SAT). Pada teknik ini digunakan pesawat untuk pengaplikasikan insektisida dengan keuntungan, yaitu mampu mencakup area yang luas dan cepat. Aplikasi insektisida dari udara di area tempat tinggal lalat tsetse disemprot dengan insektisida non-residu pada interval tertentu yang dirancang untuk membunuh semua lalat tsetse dewasa pada awalnya dan kemudian membunuh lalat tsetse muda setelah mereka muncul (Enaro & Uro, 2020; Bouyer et al., 2019).
Prinsip dari Sterile Insect Techniques (SIT) adalah serangga betina subur tidak mampu menghasilkan keturunan normal bila dikawinkan dengan jantan mandul. Lalat jantan dipelihara secara massal di laboratorium, disterilkan dengan cara iradiasi, dan dilepasliarkan untuk kawin dengan betina liar. Lalat jantan yang disterilkan masih dapat membuahi betina dengan sperma steril. Hal tersebut menyebabkan lalat tidak dapat menghasilkan keturunan yang normal (Enaro & Uro, 2020; Bouyer et al., 2019).
REFERENSI
Bouyer, J., Carter, N.H., Chelsea, B., & Michael, P.N. (2019). The Ethics of Eliminating Harmful Species: The Case of the Tsetse Fly. BioSciences, 69(2): 125-135. DOI: 10.1093/biosci/biy155.
Enaro, W.H., & Uro, T.W. (2020). Review on Ecology and Control of Tsetse Fly. International Journal of Advanced Research in Biological Sciences, 7(11): 73-82. DOI: 10.22192/ijarbs.