(Journal Review) Membran Sintesis Pada Sistem Artificial Blood Feeding Untuk Memberi Makan Culicidae
Jumat, 08 September 2023
Pendahuluan
Nyamuk betina dalam keluarga Culicidae memiliki kebiasaan makan yang disebut Hematofagi. Hematofagi merupakan singkatan dari haima yang berarti darah dan fagi yang berarti makan. Kebiasaan makan hematofagi ini merupakan faktor yang sangat penting dalam aspek reproduksi, karena pematangan oosit dan oviposisi hanya akan terjadi setelah nyamuk memakan darah.
Kebiasaan makan hematofagi merupakan sumber utama penularan vektor penyakit ke manusia. Karena itu telah dilakukan studi dan penelitian untuk lebih memahami fenomena ini. Penelitian yang dilakukan tentu saja memerlukan pemeliharaan nyamuk di laboratorium yang tentu saja akan memiliki perbedaan dengan habitat aslinya terutama sumber makanannya. Di alam nyamuk bebas untuk mencari makan dari berbagai jenis hewan hidup. Namun, pemberian makan darah hewan hidup di laboratorium sebenarnya tidak cukup efektif dan efisien. Walaupun saat ini banyak laboratorium masih menggunakan hewan hidup seperti marmut dan tikus sebagai protokol standar, tetapi penggunaannya harus sesuai dengan hukum dan peraturan mengenai kesejahteraan hewan yang disetujui oleh komite etik.
Saat ini, telah dilakukan pengembangan sistem artificial blood feeding untuk mengganti penggunaan hewan hidup. Saat ini telah ada beberapa jenis sisem artifical blood feeding yang telah dikembangkan dan digunakan oleh beberapa laboratorium. Semua sistem yang ada pasti memiliki membran sintetis yang dianalogikan sebagai kulit hewan. Membran merupakan salah satu parameter yang penting karena menentukan keberhasilkan nyamuk dalam mengambil darah. Beberapa penelitian menunjukan bahwa parafilm merupakan salah satu jenis membran yang telah berhasil digunakan dalam sistem artificial blood feeding. Namun, parafilm sedikit sulit digunakan karena mudah robek ketika direnggangkan dan tidak dapat digunakan kembali (reuse). Dengan demikian, evaluasi jenis membran lainnya diperlukan untuk meningkatkan keberhasilkan penggunaan artificial blood feeding di laboratorium.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Bauzer dkk. (2020) adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan efisiensi parafilm, kolagen, dan lateks dalam pemberian makan darah buatan untuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti. Dilakukan analisis beberapa aspek penting dari kelangsungan hidup dan reproduksi nyamuk seperti persentase pemberian makan, volume darah yang tertelan, fekunditas, dan tingkat penetasan telur.
Metode Pengujian
Pemeliharaan Larva dan Nyamuk Dewasa
Larva dari Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus dipelihara dalam mangkuk plastik yang diisi 1 L air deklorinasi dan 1 gram makanan kucing. Mangkuk ditutup dengan jaring dan disimpan di dalam inkubator dengan suhu 26 0C, kelembaban relatif 70 %, dan fotoperiode 12:12 terang gelap.
Larva yang telah berubah menjadi pupa dipindahkan ke gelas plastik 50 mL dengan bantuan pipet plastik dan disimpan di dalam kandang. Nyamuk dewasa yang muncul diberi makan secara ad libitum menggunakan larutan gula 10 % dan dipelihara dalam kondisi lingkungan yang sama dengan kondisi lingkungan pemeliharaan larva.
Membran
- Parafilm dipotong menjadi ukuran 5 × 5 cm dan direntangkan menjadi 15 × 15 cm.
- Membran sarung tangan lateks dipotong menjadi ukuran 3 × 3 cm dan dicuci dengan air keran yang telah dideklorinasi untuk menghilangkan powder yang menutupi bagian dalam sarung tangan.
- Kolagen dipotong, diregangkan hingga 9 × 9 cm. Karet elastis digunakan untuk menempelkan membran kolagen ke sistem ABF.
Pemberian Makan
Pemberian makan nyamuk dilakukan menggunakan darah manusia yang diperolah dari bank darah Instituto de Biologia do Exército (IBEx), Rio de Janeiro, Brasil.
Nyamuk ditempatkan dalam kandang karton berbentuk silinder. Bagian atas ditutupi dengan jaring dan bagian bawahnya diutup dengan salah satu dari tiga jenis membran yang ingin diuji. Sistem ini akan menjaga suhu darah pada 38?C menggunakan bantuan air panas.
Setiap ABF membutuhkan setidaknya 100 nyamuk betina berusia 5-7 hari. Dua puluh empat jam sebelum pemberian makanan darah, larutan sukrosa 10% dikeluarkan dari kandang. Untuk setiap membran dilakukan enam ulangan percobaan per spesies (dua kandang per hari pada tiga hari yang berbeda). Pada semua ulangan, pemberian makanan berlangsung selama 30 hingga 40 menit.
Persentase Betina yang Membesar
Setelah prosedur pemberian pakan, betina yang sudah membesar dari kedua spesies dihitung melalui inspeksi visual, dan persentasenya dihitung. Hal ini memberikan informasi tentang keberhasilan pemberian pakan sesuai dengan jenis membran yang digunakan.
Kuantifikasi Darah yang Tertelan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah darah yang tertelan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus berdasarkan jenis membran yang digunakan.
Sesaat setelah proses pengumpanan, nyamuk yang telah dibius selama 30 detik dengan ehtyl asetat di dalam tabung dan setelah itu dilakukan penimbangan (kelompok pertama). Penimbangan juga dilakukan terhadap nyamuk yang tidak diberi makan darah (kelompok kedua). Darah yang diambil dihitung sebagai rasio dari kelompok pertama dan kelompok kedua.
Fekunditas
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah telur yang diletakkan oleh nyamuk betina yang diberi makan dengan membran yang berbeda
Aedes aegypti
Tiga hari setelah pemberian darah, 30 nyamuk betina setiap membran dipindahkan secara individual (satu nyamuk betina per cawan) ke dalam 30 cawan petri (diameter 6 cm x tinggi 1,5 cm) untuk proses oviposisi. Bagian dasar cawan petri ditempelkan kertas saring sebagai tempat oviposisi. Tiga mililiter air pemeliharaan ditambahkan untuk merangsang oviposisi. Air tersebut mengandung feromon dan oksigen dengan konsentrasi rendah, yang dapat menjadi stimulus penetasan.
Cawan disimpan dalam inkubator dengan suhu konstan 26?C dan kelembaban relatif 80%. Setelah 24 jam, 1 mL air ditambahkan untuk menjaga kelembapan. Setelah 48 jam, betina dikeluarkan, dan piring yang berisi kertas saring dengan telur dibiarkan di dalam inkubator selama kurang lebih tujuh hari atau sampai kertas saring benar-benar kering. Jumlah telur untuk setiap membran kemudian dihitung dan dicatat.
Culex quinquefasciatus
Nyamuk betina Culex tidak dapat melakukan oviposisi individu. Untuk alasan ini, tiga hari setelah makan darah, tiga kelompok yang terdiri dari 10 betina setiap kelompoknya dipindahkan ke kandang karton silinde yang didalamnya terdapat gelas plastik berisi sekitar 45 mL air deklorinasi sebagai media untuk oviposisi. Setelah tiga hari, jumlah total telur dari masing-masing kelompok yang terdiri dari 10 betina dihitung dan dicatat. Telur-telur tersebut dihitung dengan bantuan stereomikroskop.
Percobaan dilakukan dalam rangkap tiga, dengan total 90 betina per kondisi per spesies.
Daya tetas
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui persentase telur yang menetas berdasarkan jenis membran yang digunakan.
Aedes aegypti
Setelah menghitung jumlah telur per betina, 10 ml air pemeliharaan ditambahkan ke setiap cawan untuk merangsang penetasan telur. Cawan-cawan ini dipelihara di dalam inkubator pada suhu 26?C. Setelah 48 jam, daya tetas dihitung per cawan petri, yang mewakili persentase telur yang layak (jumlah larva) per betina.
Culex quineuqfasciatus
Setelah telur dihitung, telur-telur tersebut dipindahkan ke mangkuk yang sesuai untuk memantau penetasan larva.
Analisis Stastistik
Semua data yang diperoleh diolah menggunakan IBM SPSS Statictics. Uji Kolmogorov-Smirnov diterapkan untuk menentukan normalitas parameter yang dianalisis. Lalu, digunakan uji, ANOVA satu arah dan post test Tukey digunakan untuk membandingkan persentase betina yang membesar, fekunditas, daya tetas, dan rasio kenaikan berat badan setelah betina diberi makan melalui berbagai jenis membran.
Hasil dan Pembahasan
Persentase Nyamuk yang Membesar
Secara keseluruhan, terdapat perbedaan yang signifikan dalam persentase nyamuk betina yang membesar berdasarkan jenis membran. Persentase yang lebih tinggi dari betina yang membesar pada kedua spesies diamati ketika pemberian darah dilakukan pada Parafilm. Pada Culex quinquefasciatus, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara kolagen dan lateks.
Fecunditas
Secara keseluruhan, terdapat perbedaan yang signifikan dalam fekunditas menurut jenis membran. Nyamuk betina yang diberi makan dengan Parafilm memiliki fekunditas yang lebih tinggi. Uji perbandinganTukey menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan antara Parafilm, kolagen, dan lateks (p <0,05).
Penetasan
Perbedaan yang signifikan ditemukan pada daya tetas menurut jenis membran yang digunakan dalam pemberian makan buatan. Pada Aedes aegypti, uji perbandingan berganda Tukey menunjukkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara Parafilm dan kolagen (p = 0,807). Uji ini juga menunjukkan bahwa lateks berbeda secara signifikan dengan Parafilm dan kolagen pada kedua spesies (p <0,01).
Pertambahan Berat Badan
Pada Aedes aegypti, peningkatan berat badan lebih dari dua kali lipat dari berat badan awal nyamuk pada semua jenis membran. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan di antara membran yang digunakan.
Pada Culex queinquefasciatus, terdapat perbedaan yang signifikan dalam rasio peningkatan berat badan menurut jenis membran yang digunakan. Nyamuk betina yang diberi makan dengan Parafilm dan kolagen menunjukkan peningkatan lebih dari dua kali lipat dari berat awal sebelum diberi makan. Uji perbandingan berganda Tukey menunjukkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara parafilm dan lateks, serta kolagen dan lateks.
Diskusi
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Culex quincefasciatus betina dianggap lebih sulit untuk memakan melalui membran dibandingkan dengan Aedes aegypti. Penelitian ini menunjukkan bahwa kesulitan Culex menembus membran ini tergantung pada jenis membran yang digunakan. Secara keseluruhan, parafilm meningkatkan persentase betina yang diberi makan secara signifikan dibandingkan kolagen dan lateks. Untuk Aedes aegypti, fekunditas secara signifikan lebih rendah ketika pemberian pakan buatan dilakukan dengan menggunakan kolagen dan lateks. Untuk kedua spesies, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam daya tetas ketika pemberian makan buatan dilakukan dengan Parafilm dan kolagen.
Lateks menyebabkan penurunan fekunditas dan daya tetas yang signifikan. Jika beberapa komponen kimia yang ada dalam lateks mempengaruhi fekunditas, maka hal itu juga dapat mempengaruhi daya tetas. Kesimpulannya, lateks terbukti kurang efektif dan dihipotesiskan bahwa beberapa komponen kimia yang ada di dalam lateks mempengaruhi produksi jumlah telur. Rasio kenaikan berat badan adalah satu-satunya parameter yang tidak dipengaruhi oleh jenis membran yang digunakan pada nyamuk Aedes aegypti. Meskipun membran lateks berpengaruh negatif terhadap parameter lain yang dievaluasi pada spesies ini, membran ini tidak dapat mempengaruhi perilaku betina dalam hal jumlah darah yang tertelan. Namun, rasio kenaikan berat badan secara signifikan lebih rendah ketika Culex quinquefasciatus betina diberi makan melalui lateks jika dibandingkan Parafilm dan kolagen. Hasil ini menunjukkan bahwa, selain berdampak negatif pada parameter lain yang dievaluasi pada spesies ini, membran lateks juga dapat memodulasi perilaku makan betina secara negatif.
Kesimpulan
Parafilm, kolagen, dan lateks untuk pemberian darah buatan menunjukkan bahwa penggunaan lateks harus dihindari karena memberikan efek negatif pada parameter lain yang terkait dengan pemberian makan dan reproduksi dua spesies nyamuk. Kolagen merupakan alternatif yang baik untuk Parafilm, karena efisien seperti Parafilm. Kolagen juga lebih tahan dan lebih mudah ditangani. Namun, Parafilm masih menjadi pilihan utama, karena selalu menunjukkan hasil terbaik dibandingkan dengan dua membran lain yang dievaluasi dalam aspek lainnya.
REFERENSI
Bauzer, L.G., Lima, B.P., Caldeira, J.C, & Luciana S.D. (2020 Assessment of Synthetic Membranes for Artificial Blood Feeding of Culicidae. Insects. 12 (15) : 1-11.